Mengapa Sulit Move On? Fenomena Keterikatan Emosional Setelah Perpisahan

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX
Ilustrasi putus cinta. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan

Hampir semua orang pernah mengalami perpisahan mendalam dalam hubungan cinta, nan merupakan pengalaman nan melibatkan perasaan. Namun, persepsi setiap orang bisa berbeda. Sementara beberapa orang sigap beradaptasi dan melanjutkan hidup, nan lain mengalami kehilangan, kesedihan, dan kemauan untuk kembali ke masa lalu.

Fenomena ini disebut sebagai kesulitan untuk move on. Dari perspektif biopsikologi, kondisi ini tidak hanya berangkaian dengan emosi alias kenangan, perihal tersebut juga mencakup proses biologis di tubuh dan otak nan membentuk dan mempertahankan hubungan emosional (Gehl, 2023; Pohl et al., 2018).

Keterikatan Sebagai Mekanisme Biologis

Teori keterikatan, menurut penelitian nan dilakukan oleh Jude Cassidi dan rekan-rekannya (2013), menjelaskan bahwa manusia secara biologis diciptakan untuk mempunyai hubungan nan dekat dan kondusif dengan orang lain. Sejak bayi, kita berjuntai pada kehadiran orang tua alias orang lain (Cassidy, 2013).

Hubungan romansa dipengaruhi oleh pola keterikatan ini nan terus berkembang. otak seseorang memandang pasangan mereka sebagai "figur aman" nan memberikan kenyamanan, kepercayaan, dan kestabilan emosional (Eisma et al., 2022).

Keterikatan ini mengenai dengan proses di otak. Area otak seperti sistem limbik, terutama amigdala dan hipokampus, mengatur emosi. Di sisi lain, area seperti nucleus accumbens dan ventral tegmental area berasosiasi dengan sistem penghargaan. Sistem ini aktif saat kita berinteraksi dengan orang nan kita cintai, nan menghasilkan kepuasan dan rasa terhubung nan mendalam. Dengan kata lain, cinta tidak hanya dialami secara emosional, tetapi juga diproses oleh otak melalui sistem nan sama nan menyebabkan kecanduan (Earp et al., 2013).

Hormon dan Kimiawi Otak di Balik Cinta dan Perpisahan

Hubungan romantis melibatkan sejumlah hormon nan memengaruhi emosi dan mood seseorang. Oksitosin, alias "hormon cinta", adalah salah satu hormon utama nan dilepaskan ketika kita berpelukan, berciuman, berasosiasi seksual, alias apalagi berbincang dengan pasangan kita dengan kasih sayang.

Oksitosin memperkuat hubungan emosional dan rasa percaya antara dua orang. Oleh lantaran itu, penurunan kadar oksitosin saat hubungan berhujung dapat menyebabkan emosi hampa, kesepian, dan kangen nan mendalam (Pohl et al., 2018).

Dopamin, seperti oksitosin, adalah komponen krusial dalam hubungan romansa. Hormon ini berasosiasi dengan sistem penghargaan otak dan bertanggung jawab atas rasa senang, dorongan, dan angan kebahagiaan. Saat jatuh cinta, peningkatan dopamin menciptakan euforia dan rasa ketagihan terhadap pasangan.

Tetapi setelah perpisahan, sistem dopamin mengalami penurunan mendadak, nan menyebabkan indikasi nan mirip dengan withdrawl pada pecandu unsur adiktif, seperti rasa gelisah, kehilangan semangat, dan apalagi obsesi terhadap mantan (Earp et al., 2013; Pohl et al., 2018).

Sementara itu, hormon stres utama tubuh, kortisol, meningkat ketika seseorang mengalami kehilangan. Individu nan mengalami peningkatan kortisol mengalami kecemasan, kesulitan tidur, dan kesulitan berkonsentrasi. Kadar kortisol nan tinggi dapat mengganggu keseimbangan hormon lain, memperburuk suasana hati, dan memperpanjang masa pemulihan emosional ketika stres berjalan lama.

Interaksi antara kortisol dan oksitosin sangat penting. Meskipun oksitosin biasanya membantu menurunkan stres, kortisol menjadi dominan dan menyebabkan penderitaan emosional (Pohl et al., 2018).

Faktor Psikologis: Gaya Keterikatan dan Pola Pikir

Selain aspek biologis, aspek psikologis juga berpengaruh besar pada seberapa sigap seseorang dapat pulih dari putus asa. Menurut teori style keterikatan (attachment style), orang dengan style keterikatan kondusif (secure attachment) condong lebih bisa menerima kehilangan dan beradaptasi lantaran mereka percaya bahwa hubungan baru dapat dibangun kembali. Di sisi lain, orang dengan style keterikatan resah (anxious attachment) lebih sering terjebak dalam ruminasi nan berangkaian dengan kenangan, kesalahan, alias angan nan belum terpenuhi. S

edangkan perseorangan dengan style mengelak (avoidant attachment) tampak tenang secara luar. Namun, mereka sering menyimpan stres biologis nan tersembunyi lantaran menekan emosi mereka (Gehl, 2023; Marshall, Bejanyan, & Ferenczi, 2013; Eisma et al., 2022; Cassidy, 2013).

Secara psikologis, berpikir tentang mantan dapat memperkuat reaksi biologis nan sudah ada. Ketika seseorang mengingat kenangan alias memandang foto mantan, otak mereka dapat melepaskan oksitosin dan dopamin kembali dalam jumlah kecil, membikin mereka merasa seperti "mengulang" hubungan itu secara internal. Karena otak terus diberi sinyal bahwa keterikatan tersebut tetap relevan, proses pengobatan menjadi lebih lama (Earp et al., 2013).

Fenomena Withdrawal Cinta

Beberapa penelitian dengan functional magnetic resonance imaging (fMRI) menemukan bahwa aktivitas otak orang nan baru saja putus cinta mirip dengan aktivitas otak pecandu nan mengalami withdrawal. Ketika seseorang kehilangan pasangan, otak mereka nan terbiasa dengan stimulus dopamin dan oksitosin menjadi kosong secara tiba-tiba.

Salah satu gejalanya dapat berupa kemauan untuk menghubungi mantan, rasa kangen nan sangat besar, alias apalagi kesulitan untuk menerima bahwa hubungan mereka telah berakhir. Dalam perihal ini, move on sebenarnya mirip dengan detoksifikasi emosional, proses biologis di mana tubuh dan otak secara berjenjang menyesuaikan diri dengan hilangnya sumber kenikmatan dan keterikatan lama (Earp et al., 2013).

Pemulihan dari Perspektif Biopsikologi

Pemulihan dari perpisahan memerlukan pendekatan nan memadukan aspek biologis dan psikologis. Secara biologis, aktivitas bentuk seperti berolahraga mengurangi kortisol dan meningkatkan endorfin, nan dapat membantu memperbaiki suasana hati. Hormon juga dapat diperbaiki dengan tidur nan cukup, makan makanan nan sehat, dan menghindari stres.

Individu nan mengalami kehilangan dapat memanfaatkan support sosial, terapi kognitif, meditasi, refleksi diri, dan metode psikologis lainnya untuk memproses kehilangan dengan lebih sehat. Menyadari bahwa kesulitan move on adalah hasil hubungan alami antara otak dan emosi dan bukanlah tanda kelemahan, sehingga dapat meningkatkan sikap welas asih terhadap diri sendiri selama proses pengobatan (Marshall et al., 2013; Eisma et al., 2022).

Kesulitan untuk move on setelah berpisah bukan hanya masalah emosional, perihal tersebut juga lantaran hubungan biologis dan psikologis nan kompleks. Setelah berpisah, ketidakseimbangan hormon seperti kortisol, oksitosin, dan dopamin menyebabkan stres dan kerinduan.

Dari perspektif pandang biopsikologis, memahami proses ini memungkinkan kita untuk memahami bahwa rasa sakit nan disebabkan oleh putus cinta bukanlah tanda kelemahan pribadi, itu adalah respons alami dari tubuh dan pikiran.

Dengan memahami ini, seseorang dapat menjadi lebih sabar dan penuh empati terhadap diri sendiri, nan memungkinkan otak dan hati untuk sembuh secara alami. Pada akhirnya, ini bakal membantu seseorang menemukan keseimbangan emosional nan baru.

Selengkapnya