Konsepsi Tanah Negara

Sedang Trending 3 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Ilustrasi tanah sengketa. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Diksi “tanah negara” diterjemahkan dari istilah staat lands domein nan pertama kali dikenalkan oleh Kolonial Belanda. Diksi itu ditulis dengan diksi nan berbeda-beda dalam beragam -bagai peraturan perundang-undangan nan diterbitkan pada masa Kolonial Belanda. Seperti nan tercantum dalam Burgerlijk Welboek (BW), Agrarich Besluit Staatblad 1870-118, Koninklijk Besluit (staadblad 1872-117), dan Zelfsbestuurs Regelen staadblad 1875-199a).

Burgerlijk Welboek misalnya memuat dua istilah nan berbeda ialah pasal 519 dan Pasal 520 Burgerlijk Welboek. nan pertama Pasal 519 BW menggunakan istilah “Eigendom of van den lande” (milik dari negara nan bersangkutan) dan nan kedua Pasal 520 BW, menggunakan istilah “Behoren aan de lande” (dikuasai oleh negara).

Tafsir Pasal 519, untuk membedakannya dengan tanah-tanah nan telah dilekatkan kewenangan subjek norma seperti tanah milik persekutuan (of van gemeenschappen) dan tanah milik perorangan (of van bijzondere personen), selebihnya adalah tanah-tanah milik dari negara nan bersangkutan. Sedangkan tafsir Pasal 520 BW, untuk tanah nan tidak dipelihara dan tanah nan tak ada pemiliknya seperti tanah nan dimiliki oleh seseorang nan meninggal bumi nan tak ada mahir warisnya, menjadi "Groenderven behoren aan de lande” (Tanah di bawah kekuasaan negara alias tanah nan dikuasai oleh negara).

Jika dicermati kedua redaksi tersebut, istilah staat lands domein menjadi kurang tepat jika kemudian dimaksudkan ‘negara” menjadi pemilik alias eigenaar alias owner. Kata “domein” lebih tepat dimaknai menjadi “di bawah kekuasaan alias di bawah kewenangan”. Domein dapat juga dimaknai sebagai kompetensi alias rezim. Misalnya ketika menggunakan istilah untuk menyebut Hukum Agraria itu masuk dalam rezim norma alias kompetensi kajian norma Administrasi negara, bukan rezim alias kompetensi kajian norma perdata.

Akan tetapi kajian tentang tanah sebagai barang tidak berbentuk nan tidak bergerak, tunduk pada rezim kajian Hukum Perdata. Itulah sebabnya dalam BW, hak-hak atas tanah diatur dalam Buku II BW tentang Benda (van Zaaken). Sedangkan kajian terhadap proses alias prosedur pemberian hak-hak atas tanah dan tata guna tanah tunduk pada rezim kajian Hukum Administrasi Negara. Banyak Fakultas Hukum kemudian menempatkan Hukum Agrari di bawah naungan Kaprodi Hukum Administrasi Negara.

Oleh lantaran itu, kata staat lands domein lebih tepat dimaknai menjadi tanah-tanah nan berada di bawah kekuasaan alias di bawah kewenangan negara. Oleh lantaran negara Belanda corak negaranya adalah kerajaan, maka tanah-tanah dimaksud menjadi di bawah kekuasaan alias di bawah kewenangan Kerajaan Belanda (Nederlands Koninkrijk).

Jika pemaknaan staat lands domein diartikan tanah negara, maka perihal ini dapat menimbulkan tafsir nan bias dan bisa juga menyesatkan. Sebab diksi tanah negara bisa diartikan tanah milik negara. Negara di sini seolah-olah menjadi subjek kewenangan atas barang berupa tanah. Seperti tanah si Agam, tanah si Uncu, tanah si Ucok, tanah si Udin, tanah si Buyung, Tanah si Mamat, tanah si Ujang, tanah Pak Raden, tanah si Beli, tanah Daeng, tanah Bace dan lain sebagainya.

Mengacu pada diksi tersebut, maka Negara bisa mempunyai kedudukan sederajat dengan subyek norma perorangan, padahal Negara adalah organisasi kekuasaan tertinggi dari rakyat Indonesia nan mempunyai kewenangan untuk mengatur hubungan norma antara tanah dengan penduduk negaranya. Negara selamanya-baik dalam peraturan perundang-undangan Kolonial Belanda maupun Hukum Pertanahan di Indonesia (UU No.5 Tahun 19060 Tentang ketentuan Pokok-Pokok Agraria)-tak pernah menyebut “dirinya” sebagai pemilik (eigenaar) atas tanah. Negara bukanlah owner atas tanah. Karena itu pemaknaan staat lands domein tak boleh ditafsirkan menjadi staat lands eigendom, tetapi Behoren aan de lande (di bawah kekeuasaan negara).

Selanjutnya Algemen Domein verklaring (pernyataan umum kepemilikan tanah) sebagaimana termaktub dalam pasal 1 Algemen Besluit tahun 1870 No. 118 nan berbunyi, “Dengan pengecualian atas tanah-tanah nan dicakup dalam paragraf 5 dan 6 Indische Staatsinrichting van Nederland Indie, “Semua tanah nan tidak dilekatkan kewenangan nan dapat dibuktikan-seperi kewenangan milik (eigendom)-maka tanah tersebut secara otomatis menjadi tanah nan pengaturannya di bawah domein Kerajaan Belanda”.

Ketentuan ini mempunyai latar bepakang politik. Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan ini untuk kepentingan Investasi perusahaan-perusahaan swasta Eropa di wilayah jajahannya ketika itu. Ketentuan ini merupakan instrumen politik norma Pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil alih tanah-tanah milik persekutuan nan saat itu tunduk pada sistem norma adat.

Pada kata “Domein Negara” terselip makna fungsi, struktur, dan organ badan-badan negara. Hukum nan mengaturnya adalah Hukum Tata Negara mengenai tugas dan kewenangan serta hubungan antar Lembaga negara. Sedangkan gimana badan-badan negara itu menjalankan tugasnya tunduk pada rezim Hukum Adminstrasi negara.

Perbedaan antara keduanya terletak pada langkah memandang kegunaan dan tugas badan-badan negara tersebut. Jika badan negara itu dilihat dari aspek keberadaan tugas dan fungsinya secara tetap alias tak bersuara (staat in rust) maka itu masuk pada ranah Hukum Tata Negara, namun jika dilihat dari perspektif gimana badan-badan negara itu menjalankan tugasnya dalam makna memandang negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging), maka perihal itu masuk dalam ranah kajian Hukum Administrasi Negara.

Setelah Indonesia merdeka, pengaturan tentang tanah tetap melanjutkan konsepsi dan ketentuan-ketentuan nan diatur oleh pemerintah Hindia Belanda, antara lain BW alias KUH Perdata Belanda nan termuat dalam BUKU II ialah nan mengatur tentang Hukum Benda, dan semua peraturan nan diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda sampai dengan terbitnya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria nan diberlakukan tanggal 24 September 1960.

Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, secara inplisit mengandung filosofi domein verklaring khususnya nan berangkaian dengan hubungan antara negara dan tanah. Negara selalu dimaknai sebagai pemilik tanah dalam hubungan nan berkarakter keperdataan. Di dalam Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953, ketentuan ini memuat dua terminologi ialah tanah negara nan dikuasai penuh dan tanah negara nan tidak dikuasai penuh.

Peraturan Pemerintah ini menyatakan tanah negara adalah tanah nan dikuasai penuh oleh negara. Perlu diketahui bahwa Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953 ini diterbitkan berasas norma peninggalan Kolonial Belanda, ketika itu. Bukan diterbitkan berasas Undang Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria.

Tujuh tahun setelah terbitnya Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953, Indonesia menerbitkan undang-undang mengenai pertanahan nan merujuk pada nilai-nilai ke-Indonesia-an. Itulah nan dikemudian hari dikenal sebagai UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria alias selalu disingkat dengan UUPA No.5 Tahun 1960.

Terbitnya UUPA No,5 Tahun 1960 ini, telah menghapuskan semua aturan-aturan mengenai agraria nan berbau Kolonial, yaitu: Agrarische Wet nan dimuat dalam Staatsblad 1870 No. 55, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Wet op de Statsinrichting van Nederlands Indie, Staatsblad 1925 No.447, Domein Verklaring yang termuat dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, Statatsblad 1870 No.118, Algemene Domeinverklaring nan diatur dalam Staatsblad 1875 No.119A,

Domeinverklaring untuk Sumatera nan diatur dalam Pasal 1 Statasblad 1874 No.94f, Domeinverklaring untuk Keresidenan Manado diatur dalam Pasal 1 Staatsblad Statasblad 1877 No.55, Domeinverklaring untuk Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo nan diatur dalam Pasal 1 Staatsblad Statasblad 1888 No.58.

Selain itu UUPA juga mencabut Koninlijk Besluit tanggal 16 April 1872 No.29 nan dimuat dalam Staatsblad 1872 No. 117 dan peraturan pelaksanaannya. Teraklhir nan dicabut dengan kehadiran UUPA ini adalah BUKU II Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sepanjang mengenani bumi, air dan ruang angkasa, selain tentang hypotheek. Ketentuan nan disebut terakhir inipun kemudian dicabut juga melalui UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah dan Beserta Benda-Benda nan Berkaitan dengan Tanah.

Intinya adalah UUPA No.5 Tahun 1960 hendak menghapus semua nan berbau kolonial. Mengahapuskan penghisapan manusia atas manusia, exploitation de l'homme par l'homme. Semua nan berbau "penghisapan" sumber daya agraria tak boleh lagi ada di bumi Indonesia. Itu nan disampaikan Bung Karno dalam pidato (amanat)-nya pada Upacara Peringatan 15 Tahun Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1960 nan 37 hari kemudian terbit UUPA No.5 Tahun 1960.

Obsesi Bung Karno itu kemudian dituangkan dalam pasal-pasal UUPA No.5 Tahun 1960. Pasal nan menyebut kesatuan wilayah sebagai kesatuan tanah dan air dimuat pada Pasal 1, berbarengan dengan penegasan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam nan terkandung di dalamnya adalah merupakan kekayaan nasional.

Kekayaan dalam makna bukan aset negara nan terdaftar pada Kementerian Keuangan. Tetapi kekayaan negara sebagai karunia Tuhan nan Maha Esa nan diperuntukkan bagai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekayaan sebagai perwujudan dari norma nan diturunkan dari Filosofische Grondslag ialah sila pertama dan sila ke-lima dari Pancasila.

Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi air dan ruang angkasa itu disebut pula sebagai hubungan nan berkarakter kekal nan mempunyai hubungan magis religius, mendalam dan sakral. Atas dasar itulah kemudian undang-undang ini menyatakan Negara adalah penguasa tertinggi alias sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat atas kekayaan Negara tersebut nan ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA, sebagai Hak Menguasai dari Negara.

Dalam UUPA No.5 Tahun 1960 dan peraturan organiknya nan terbit di kemudian hari, pada dasarnya tidak secara definitif menyebut dan mengatur tentang pemaknaan tanah negara secara tegas. Pasal 1 dan pasal 2 UUPA secara lugas menggambarkan dan menjelaskan pemaknaan terhadap diskursus konsepsi tanah negara ini. Prof Dr A.P. Parlindungan mengenai perihal ini menyatakan, “Sebenarnya istilah tanah negara dalam sistem UUPA tidak dikenal.

Yang ada adalah tanah nan dikuasai oleh negara. Dalam pasal 1 alias pasal 2 UUPA, juga menyebut tanah nan dikuasai oleh negara merupakan penjabaran dari kewenangan menguasai dari negara atas bumi, air, dan ruang angkasa vide Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sungguhpun demikian, dalam banyak produk norma tetap saja menggunakan diksi tanah negara dengan pemaknaan dan tafsir nan keliru. Padahal, pada kenyataannya negara tidak pernah menjadi pemilik dalam makna sebagai ownwer alias eigenaar--mengulangi lagi pernyataan di awal tulisan ini. Istilah ini muncul sebagai terjemahan dari staats domein. Istilah ini sehatrusnya sudah kudu dihapus dalam kosa kata alias kamus norma Indonesia. Istilah nan tepat adalah tanah nan dikuasai oleh negara seperti diatur dalam Pasal 2 UUPA No.5 Tahun 1960.

Selain istilah tanah negara itu kerap kali muncul dalam praktik manajemen pertanahan, di mana penguasaannya dilakukan oleh otoritas pertanahan. Lebih lanjut, Boedi Harsono menyatakan, penggunaan terminologi tanah negara dapat saja digunakan sepanjang konsepsi dan maknanya disesuaikan dengan UUPA.

Artinya, tanah negara bukanlah tanah “milik negara nan mencerminkan adanya hubungan norma antara negara dan tanah nan berkepentingan nan berkarakter privat, namun tanah-tanah nan dikuasai oleh negara dengan hubungan norma nan berkarakter publik.

Lebih lanjut dikatakannya, berasas hubungan norma nan berkarakter publik, maka kewenangan pengelolaan atas tanah negara kemudian “diatribusikan” ke beragam otoritas. Siapakah nan mempunyai otoritas kewenangan atributif tentang tanah? Ini dijawab oleh Pasal 2 UU No.5 Tahun 1960. Agar tidak bias tentang pemaknaan tentang kewenangan menguasasi Negara tersebut kemudian secara rinci undang-undang ini mengatur tentang kewenangan nan berasal dari ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar, yaitu;

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menetukan dan mengatur hubungan-hubungan norma antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan norma antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan norma nan mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kewewenang nan berasal pada kewenangan menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam makna kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara norma Indonesia nan merdeka, berdaulat, setara dan makmur. Selanjutnya, pada ayat berikutnya, dikatakan bahwa, Kewenangan menguasasi oleh Negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Provinsi dan masyarakat Hukum Adat, asal tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Berdasarkan konsepsi inilah seharus perturan organik mengenai dengan hak-hak atas tanah termasuk tentang peruntukannya diturunkan. Peraturan pelaksana dari UUPA No.5 Tahun 1960, tak boleh bertentangan undang-undang ini. Misalnya, Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2001 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah memberi batas tentang pemaknaan Tanah Negara-atau Tanah nan langsung dikuasai oleh Negara-adalah tanah nan tidak dilekati dengan sesuatu kewenangan atas tanah, bukan Tanah wakaf, bukan Tanah Ulayat dan/atau bukan merupakan aset peralatan milik negara/barang milik daerah.

Ketentuan ini menjadi rancu seolah-olah PP No.18 Tahun 2021 ini hendak menetapkan batas tentang Tanah Negara secara limitatif yakni; tanah nan tidak dilekati dengan sesuatu kewenangan atas tanah, bukan Tanah wakaf, bukan Tanah Ulayat dan/atau bukan merupakan aset peralatan milik negara/barang milik daerah.

Apalagi rumusan ini berbeda dengan rumusan nan dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut nan berbunyi, “Tanah Negara alias Tanah nan Dikuasai Langsung oleh Negara merupakan seluruh bagian Tanah di wilayah Negara Kesatuan Repubiik Indonesia nan tidak dipunyai dengan sesuatu kewenangan oleh pihak lain”.

Bagaimana dengan tanah nan sudah dipunyai alias dilekatkan kewenangan atas tanah milik pihak lain? Apakah negara kehilangan kewenangannya sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari rakyat untuk mengatur hubungan antara tanah dengan rakyatnya sebagai subyek pemilik hak? Jawabnya tidak, sekalipun seorang penduduk negara Indonesia sudah memilik kewenangan atas tanah menurut ketentuan UUPA No.5 Tahun 1960, nan berkepentingan tetap tidak mempunyai kewenangan untuk mengalihkannya kepada subyek norma penduduk negara asing.

Berbeda ketika seseorang mempunyai kewenangan kebendaan lain selain tanah, misalnya kepemilikan atas arloji “ROLEX” misalnya, pemiliknya boleh mengalihkannya kepada subjek norma penduduk negara asing. Tak ada larangan untuk itu. Oleh lantaran itu, pemaknaan terhadap tanah negara alias tanah nan dikuasai oleh negara kudu betul-betul dimaknai berasas “roh filosofis” pembentukan UU No. Tahun 1960.

Selengkapnya