ARTICLE AD BOX
Saat menulis curriculum vitae (CV) alias resume, banyak orang nan condong memasang pas foto alias foto resmi terbaik mereka. Ini dianggap sebagai salah satu langkah untuk memberikan sentuhan individual pada CV alias resume. Namun, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia, Prof. Stella Christie, tidak setuju dengan praktik tersebut.
Hal ini Stella sampaikan saat memaparkan pidato pembukaan di Awarding Ceremony L’Oreal–UNESCO For Women In Science 2025 di Gedung Kemendiktisaintek, Jakarta, Selasa (11/11) lalu.
Stella menjelaskan, praktik memasang foto pada CV dapat menyebabkan bias alias stereotipe. Terlebih, di bumi sains, kesenjangan kelamin antara wanita dan laki-laki sudah cukup lebar. Hadirnya foto nan menunjukkan penampilan pelamar kerja bisa memperkuat bias tersebut.
Prof Stella pun memberikan penjelasan mengenai penelitian ilmiah nan membuktikan adanya bias kelamin dalam proses rekrutmen pekerjaan. Eksperimen tersebut melibatkan dua golongan partisipan nan diberikan dua CV dengan nama berbeda, ialah Robert (laki-laki) dan Ruth (perempuan).
Meski CV tersebut mempunyai nama berbeda, isinya identik, mulai dari pengalaman mengajar hingga produktivitas riset ilmiah nan dilakukan.
“Para partisipan pun ditanya soal sebesar apa tingkat produktivitas riset mereka (Ruth dan Robert)? Sekuat apa pengalaman kerja keduanya? Apakah Anda bakal mau mempekerjakan mereka?” papar Stella.
Ia melanjutkan, ketika CV nan diberikan menunjukkan pengalaman kerja alias riset nan luar biasa baik, partisipan tidak memandang kelamin dari pemilik CV. Namun, ketika CV tersebut cukup baik—tidak luar biasa, tetapi tetap di atas rata-rata, partisipan mulai menunjukkan bias gender.
“Ketika memandang CV Robert, partisipan bakal mengatakan bahwa Robert mempunyai produktivitas riset nan lebih tinggi dibandingkan Ruth. Dengan info nan sama, Robert disebut mempunyai pengalaman mengajar nan lebih baik daripada Ruth, padahal isi CV mereka sama persis,” imbuh pengajar di Tsinghua University China ini.
Ketika orang meninjau CV Ruth, Ruth disebut tidak mempunyai pengalaman mengajar nan cukup baik. Sebanyak 70 persen partisipan menyebut tertarik untuk mempekerjakan Robert, sementara nan mau mempekerjakan Ruth hanya 45 persen.
“Ini adalah bukti nan sangat jelas soal bias dan stereotipe. Hanya dengan mengubah nama CV menjadi Robert dan Ruth, Anda sudah langsung memandang perbedaannya,” simpul Stella.
Stella kemudian menyinggung soal praktik penggunaan foto dalam CV nan dilakukan di Indonesia. Menurut Stella, praktik ini justru melanggengkan bias dan stereotipe saat proses rekrutmen.
“Kita mempunyai praktik ini di Indonesia: memasang foto di CV, dan saya sangat menolak praktik ini. Bisakah kita menghilangkan ini? Sebab, ini bakal berujung pada bias. Penampilan seseorang bakal membikin Anda mempunyai pendapat berbeda soal orang tertentu tanpa memandang apa nan ditulis dalam CV,” ucapnya.
Menurut Stella, menghilangkan praktik ini memang terkesan sepele. Namun, baginya ini adalah langkah krusial dalam menurunkan bias kelamin antara wanita dan laki-laki.
Penggunaan foto dalam CV memang sering kali diperdebatkan. Banyak studi lainnya nan menunjukkan bahwa kehadiran foto di resume pekerjaan justru melanggengkan bias dan potensi diskriminasi. Salah satunya adalah studi nan dilakukan oleh pengajar di Chukyo University Jepang, Yasuo Yabuki.
Dalam studi itu, Yasuo memasukkan foto-foto pada CV lamaran dengan karakter bentuk tertentu, seperti orang berkacamata, berbulu cokelat, orang dengan kondisi obesitas, sampai orang dengan rambut menipis. CV fiksi tersebut diberikan kepada 818 partisipan nan bekerja di bagian Human Resources.
Hasilnya, CV dengan foto laki-laki berbulu menipis dan CV wanita dengan berat badan berlebih memperoleh nilai nan lebih rendah. Yasuo pun berkesimpulan bahwa foto dalam CV sangat memengaruhi keputusan dalam proses rekrutmen dan menunjukkan bias tersendiri pada personel Human Resources.
6 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·