ARTICLE AD BOX
Fenomena meningkatnya nomor Golongan Putih (Golput) pada setiap gelaran pemilu beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa kerakyatan Indonesia tetap berjuang menemukan bentuk idealnya.
Golongan Putih (Golput) merupakan istilah nan muncul dan terkenal pada Pemilu 1971 sebagai corak protes penduduk negara terhadap sistem pemilu proporsional tertutup. Pada sistem tersebut, pemilih hanya dapat mencoblos logo partai politik tanpa dapat memilih calon legislatif secara langsung. Situasi ini menimbulkan ketidakpuasan lantaran aspirasi politik dianggap tidak tersalurkan secara optimal.
Arief Budiman dalam bukunya Arief Budiman: Tukang Kritik Profesional (2000), menjelaskan bahwa aktivitas Golput pada Pemilu 1971 lahir sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah nan membatasi jumlah partai politik. Pembatasan tersebut membikin sebagian golongan menilai aspirasi politik mereka tidak terwakili.
Meski sistem pemilu proporsional terbuka mulai diterapkan sejak Pemilu 2009, kejadian Golput tetap memperkuat hingga hari ini. Salah satu penyebab utamanya adalah kekecewaan pemilih terhadap calon nan diusung partai politik. Kondisi ini mencapai puncaknya pada sejumlah pilkada terakhir nan menunjukkan tren nomor Golput nan mengkhawatirkan.
Menurut info dari KPU, nomor Golput pada Pilgub Jawa Timur menyentuh nomor 34,67%, nomor nan lebih tinggi terjadi di Pilgub DKI Jakarta ialah 42,48%, lampau juara Golput pada Pilkada 2024 dimenangkan oleh Pilgub Sumatera Utara nan mencapai nomor 47,50%.
Selain aspek kekecewaan terhadap calon, tingginya nomor Golput juga berangkaian dengan pemahaman bahwa memilih merupakan hak, bukan tanggungjawab penduduk negara. Pemahaman ini membikin sebagian orang merasa bebas untuk tidak berperan-serta dalam pemilihan umum.
Namun begitu, jika merujuk pada Fatwa Ijtima Ulama II se-Indonesia tahun 2009, dinyatakan bahwa “memilih pemimpin dalam Islam adalah tanggungjawab untuk menegakkan kepemimpinan dan pemerintahan dalam kehidupan bersama.” Secara moral, pandangan ini semestinya dapat memperkuat partisipasi politik masyarakat. Namun, dalam praktiknya, fatwa tersebut belum berakibat signifikan lantaran tidak mempunyai daya paksa dalam norma positif nasional.
Tulisan ini datang untuk memperkaya diskursus dalam upaya penyempurnaan sistem kerakyatan di Indonesia. Dinamika politik mutakhir menunjukkan bahwa proses pencarian corak kerakyatan nan ideal tetap terus berlangsung. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi nan memerintahkan pemisahan agenda pemilihan nasional dan wilayah pada tahun 2029 dan 2031. Ini menggambarkan bahwa bangsa Indonesia tetap terus mencari pakem nan ideal bagi demokrasinya.
Memilih: Hak alias Kewajiban?
Perdebatan mengenai apakah memilih merupakan kewenangan alias tanggungjawab berkisar pada langkah memaknai kebebasan penduduk negara. Pertanyaannya: apakah kewenangan memilih merupakan upaya melindungi kebebasan individu, ataukah tanggungjawab memilih justru dianggap membatasi kebebasan tersebut?
Pihak nan beranggapan bahwa memilih adalah hak, berpegang pada prinsip dasar kerakyatan nan menjunjung tinggi kebebasan individu. Menurut pandangan ini, seseorang tidak boleh dipaksa mengikuti proses nan diyakininya sebagai sumber penderitaan—misalnya, ketika pemerintahan tidak menghadirkan keadilan bagi rakyatnya. Cara pandang ini menekankan bahwa akar persoalan terletak pada sistem, bukan pada perseorangan pemimpin nan terpilih. Akibatnya, setiap terjadi kegagalan, nan diserbu adalah kegagalan sistem bukan subjek nan menjalankan sistem.
Sebaliknya, pihak nan menilai memilih sebagai tanggungjawab berargumentasi bahwa partisipasi politik merupakan tanggung jawab setiap penduduk negara dalam proses pembentukan pemerintahan. Pemerintahan tidak hanya memerlukan legalitas hukum, tetapi juga legitimasi sosial dari rakyat nan terlibat aktif dalam pemilihan.
Pandangan ini sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, nan selain menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, juga menegaskan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia nan bermaksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban bumi berasas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dengan demikian, bangsa Indonesia berupaya mewujudkan cita-citanya melalui pembentukan pemerintahan nan sah. Karena itu, memilih calon pemimpin nan bakal menjalankan tugas tersebut merupakan tanggung jawab setiap penduduk negara.
Lalu, gimana dengan asas “bebas” dalam penyelenggaraan pemilu? Asas bebas dimaknai sebagai larangan bagi siapa pun untuk menekan, mengancam, alias menjanjikan sesuatu kepada pemilih guna memengaruhi pilihannya. Artinya, asas bebas bukanlah norma nan mendorong untuk memilih tidak menggunakan kewenangan pilih (Golput), melainkan agunan agar pilihan politik dilakukan secara mandiri.
Dalam kerangka konstitusi, kebebasan pun tidak berkarakter absolut. Pembatasan dapat dilakukan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas kewenangan orang lain serta memenuhi tuntutan nan setara berasas pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum di masyarakat demokratis.
Contoh dari pembatasan kebebasan ini dapat kita lihat pada pasal 200 undang-undang Pemilu, “anggota TNI dan POLRI tidak menggunakan kewenangan nya untuk memilih”. Larangan ini tentu bukanlah corak dari melanggar kebebasan, namun sebagai upaya mencegah seorang penduduk negara nan dibolehkan memegang senjata dan komando dari kontestasi politik alias lebih dikenal dengan istilah dwifungsi. Jika pembatasan tersebut diberlakukan untuk mencegah akibat negatif dwifungsi, maka potensi ancaman dari pilihan Golput juga patut diperhatikan.
Konstitusi menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Apabila kedaulatan ini tidak dijalankan—misalnya melalui kejadian Golput nan meluas—maka legitimasi pemerintahan nan dibentuk melalui pemilu dan pilkada bakal melemah.
Negara-Negara nan mewajibkan memilih
Berdasarkan info International Idea (Compulsory Voting in The World), Pemungutan bunyi wajib bukanlah konsep baru. Sejumlah negara apalagi telah menerapkannya sejak lebih dari satu abad lalu, di antaranya Belgia (1892), Argentina (1914), dan Australia (1924).
Penerapan tanggungjawab memilih di beragam negara dilakukan dengan langkah nan beragam, termasuk memberikan pengecualian bagi golongan tertentu. Misalnya, Argentina mewajibkan seluruh penduduk negara untuk memilih, tetapi memberi kewenangan memilih secara sukarela kepada pemilih berumur 16–18 tahun.
Sementara itu, Bolivia mengecualikan penduduk nan berada di luar wilayah pemilihan pada hari pemungutan suara, mengalami keadaan kahar, serta penduduk berumur 70 tahun ke atas. Ketentuan nan serupa juga diterapkan di Luksemburg dan Paraguay, menandakan bahwa tanggungjawab memilih tetap mempertimbangkan kondisi sosial dan kemanusiaan.
Selain pengecualian, setiap negara juga mempunyai model penerapan hukuman nan berbeda. Australia menegakkan patokan dengan memberlakukan denda sebesar 20–50 dolar Australia, dan dapat ditingkatkan menjadi balasan penjara andaikan denda tidak dibayar.
Di sisi lain, Belgia tidak menerapkan hukuman formal, namun terdapat akibat sosial berupa kesulitan memperoleh pekerjaan di sektor publik bagi mereka nan tidak menggunakan kewenangan pilih.
Beberapa negara pernah menerapkan hukuman administratif nan cukup ketat, seperti Yunani, nan dulu membatasi publikasi paspor dan surat izin mengemudi bagi penduduk nan tidak memilih. Namun, hukuman terhadap jasa dasar tersebut telah dicabut pada tahun 2000. Yunani juga memberikan pengecualian bagi penduduk berumur di atas 70 tahun, mereka nan dirawat di rumah sakit, ataupun sedang berada di luar wilayah pemilihan.
Adapun negara lain, seperti Meksiko, Italia, dan Kosta Rika, turut mewajibkan warganya untuk memilih meskipun tidak menetapkan hukuman formal. Meskipun demikian, muncul corak hukuman sosial, misalnya kesulitan mengakses jasa penitipan anak dan pelayanan publik serupa. Hal ini menunjukkan bahwa tanggungjawab memilih dapat dipertegas melalui sistem non-hukum nan berjuntai pada budaya politik masing-masing negara.
Di area Asia Tenggara, Thailand merupakan salah satu negara nan menerapkan akibat politik bagi penduduk nan tidak memilih. Mereka nan tidak memenuhi tanggungjawab memilih dapat kehilangan kewenangan untuk berperan-serta dalam proses politik, termasuk larangan mencalonkan diri dalam pemilihan pada tingkat lokal maupun nasional.
Pemerintahan nan terbentuk melalui pemilihan idealnya mencerminkan kedaulatan rakyat. Namun, ketika banyak penduduk memilih untuk Golput, gambaran tersebut menjadi kabur lantaran pemimpin nan terpilih tidak sepenuhnya mewakili kehendak rakyat.
Kondisi ini melemahkan legitimasi pemerintahan. Dalam konteks ini, tanggungjawab memilih dapat menjadi salah satu ikhtiar untuk mencegah semakin lebarnya jarak antara pemerintah dan rakyat, terutama di tengah meningkatnya nomor Golput.
Selain itu, tanggungjawab memilih berpotensi menekan biaya politik nan kudu dikeluarkan peserta pemilu. Tanpa kebutuhan besar untuk memobilisasi pemilih agar datang ke TPS, daya kampanye dapat dipusatkan pada penyampaian program dan gagasan. Kewajiban memilih juga dapat mengurangi ruang bagi praktik kecurangan nan bermaksud mempengaruhi penduduk agar tidak menggunakan kewenangan pilihnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 278 Undang-Undang Pemilu.
Pra-Syarat Mewajibkan Memilih
Meski mewajibkan memilih dapat menjadi jalan memperkuat legitimasi politik, kebijakan ini memerlukan sejumlah prasyarat agar tujuan tersebut tercapai secara utuh.
Pertama, pendemokrasian internal partai politik. Partai politik sebagai pengusung calon pemimpin memegang peran kunci dalam menjaga kualitas pemilu. Seperti disinggung sebelumnya, kekecewaan pemilih terhadap figur nan ditawarkan partai menjadi salah satu penyebab tingginya nomor Golput. Karena itu, partai perlu mengevaluasi sistem internal agar proses rekrutmen calon tidak sekadar mengikuti transaksi di bawah meja alias kompromi pragmatis. Fenomena koalisi besar nan berujung pada calon tunggal versus kotak kosong dalam pemilihan kepala wilayah adalah contoh nyata nan perlu diperbaiki. Partai semestinya mempunyai sistem seleksi calon nan inklusif, adil, dan transparan sehingga betul-betul mencerminkan bunyi masyarakat.
Kedua, integrasi info pemilih. Data penduduk negara nan berkuasa memilih kudu terhubung dan diperbarui secara konsisten di antara KPU, Bawaslu, Kemendagri, Kemenlu, hingga Kemenkumham. Di era digital saat ini, integrasi info semestinya tidak menjadi persoalan besar, selama ada komitmen dari para pemangku kebijakan untuk meninggalkan prosedur manual nan lamban dan rawan kesalahan.
Ketiga, kemudahan dalam sistem pindah memilih. Banyak penduduk kesulitan menggunakan kewenangan pilih lantaran perpindahan domisili sementara, terutama pelajar dan mahasiswa. Proses manajemen nan lebih sederhana dan biaya nan terjangkau bakal sangat membantu. Selain itu, penentuan waktu pemilihan pada masa libur akademik dapat meningkatkan partisipasi pemilih pemula nan sedang merantau.
Keempat, penyiapan logistik secara memadai. Wilayah pemilihan Indonesia sangat luas, apalagi mencakup perwakilan di luar negeri melalui instansi kedutaan besar. Karena itu, proses pencetakan dan pengedaran logistik tidak bisa terpusat di satu letak saja. Sistem produksi nan tersebar dan perencanaan pengedaran nan matang menjadi kunci agar seluruh kebutuhan logistik dapat tersampaikan tepat waktu.
Berkaca dari negara-negara nan telah menerapkan tanggungjawab memilih, Indonesia perlu mempertimbangkan secara jeli corak hukuman nan tepat bagi penduduk nan tidak menjalankan tanggungjawab tersebut. Selain kudu efektif, hukuman juga mesti berkarakter humanis.
Pengalaman Yunani menjadi wawasan penting: negara itu pernah menjatuhkan hukuman berupa pembatasan akses terhadap jasa dasar seperti publikasi paspor dan surat izin mengemudi. Namun, kebijakan tersebut akhirnya dicabut pada tahun 2000 lantaran dinilai tidak proporsional.
Di sisi lain, negara maju seperti Australia menerapkan hukuman berupa denda. Meski cukup efektif, pendekatan ini mungkin kurang relevan diterapkan di Indonesia mengingat perbedaan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Sementara itu, Meksiko, Italia, dan Kosta Rika mewajibkan memilih tanpa hukuman formal. Model seperti ini tampaknya juga kurang sesuai, karena tanpa daya paksa, izin berpotensi menjadi tidak bermakna.
Sebagai alternatif, hukuman nan berkarakter sosial dapat dipertimbangkan. Misalnya, pembersihan lingkungan, pelayanan kemanusiaan di panti asuhan, alias aktivitas restorasi alam seperti penanaman pohon. Bentuk hukuman ini dinilai lebih tepat lantaran tidak membebani secara ekonomi dan sekaligus memberikan nilai edukatif bagi penduduk tentang pentingnya berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada akhirnya, setiap rezim pemerintahan bertanggung jawab mengupayakan terwujudnya cita-cita konstitusi sebagai bentuk kehendak bangsa nan merdeka. Agar kehendak itu betul-betul tercermin dalam pemerintahan, rakyat kudu dilibatkan secara utuh untuk menentukan siapa nan layak memimpin melalui sistem pemilihan.
4 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·