Kpk Ott Gubernur Riau, Semua Terasa Janggal?

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Gubernur Riau, Abdul Wahid terlihat menyapa awak media, saat di gedung KPK (Sumber: Kumparan.com)

Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau, Abdul Wahid, alih-alih memunculkan rasa puas lantaran penegakan norma nan berjalan, kasus ini malah menimbulkan tanya: kenapa semua terasa janggal?

KPK memang punya kewenangan luar biasa. Mereka bisa menangkap siapa pun nan tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi dalam setiap penangkapan, KPK juga punya tanggungjawab moral: memastikan semuanya transparan, proporsional, dan tidak melanggar kewenangan asasi seseorang.

Masalahnya, OTT kali ini justru menyisakan kabut tebal. Publik tidak diberi penjelasan nan utuh soal peralatan bukti, nominal suap, alias bangunan kasusnya. Keterangan nan muncul di media hanya sebatas “dugaan penerimaan uang.” Tidak ada kejelasan tentang siapa nan memberi, kapan transaksi terjadi, dan apakah betul itu masuk kategori suap sebagaimana diatur undang-undang.

Kalau begitu, pertanyaan sederhananya: di mana bukti permulaan nan cukup?

OTT alias Sekadar Pertunjukan?

Dalam teori norma pidana, penangkapan kudu berasas bukti permulaan nan cukup. Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP menyebut interogator berkuasa menangkap jika terdapat bukti cukup bahwa seseorang melakukan tindak pidana. Artinya, tindakan penangkapan tanpa dasar kuat bisa melanggar asas due process of law.

Sayangnya, praktik OTT belakangan ini terasa lebih seperti pagelaran norma daripada proses hukum. Gaya KPK seolah tak berubah: tangkap dulu, penjelasan belakangan. Begitu juga dengan kasus Gubernur Riau. Setelah berita penangkapan muncul, tak ada konvensi pers resmi nan menjelaskan duduk perkara. Bahkan, status hukumnya pun tetap menggantung: apakah sudah tersangka alias tetap saksi?

Padahal, di era keterbukaan informasi, publik berkuasa tahu. Apalagi nan ditangkap adalah kepala daerah, sosok publik nan dipilih oleh rakyat. KPK tidak boleh memperlakukan norma seperti panggung sandiwara.

Masalah KPK sebenarnya sudah dimulai sejak revisi UU KPK tahun 2019. Sejak itu, independensi lembaga ini mulai tergerus. Keberadaan majelis pengawas, izin penyadapan, hingga sistem birokratis nan panjang membikin KPK kehilangan taringnya.

OTT nan dulu menjadi simbol keberanian, sekarang lebih sering dianggap langkah politis. Apalagi jika dilakukan terhadap tokoh-tokoh wilayah tertentu menjelang momentum politik. Kecurigaan itu susah dihindari. Apakah ini penegakan hukum, alias penataan peta kekuasaan?

Krisis kepercayaan terhadap KPK memang nyata. Data survei Indikator Politik Indonesia tahun 2024 mencatat, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK ambruk menjadi 60 persen, jauh dari masa keemasan di era Agus Rahardjo nan mencapai 85 persen. OTT Gubernur Riau seolah menjadi upaya mengembalikan citra, tapi sayangnya dilakukan dengan langkah nan justru memperdalam luka.

Riau dan Luka Kolektif nan Tak Kunjung Sembuh

Riau tampaknya selalu apes dalam perihal kepala daerah. Hampir semua gubernur di sana pernah bergesekan dengan kasus korupsi. Dari Rusli Zainal hingga Annas Maamun, sekarang giliran Abdul Wahid. Tapi pertanyaannya: apakah ini kebetulan, alias ada pola?

Jika setiap kepala wilayah Riau diakhiri dengan OTT, sementara akar persoalan korupsi wilayah tak pernah dibereskan, maka KPK hanya memadamkan api di permukaan, bukan mencegah kebakaran di bawah tanah.

Kita butuh penegakan norma nan mengubah sistem, bukan sekadar menangkap figur. Apalagi jika OTT itu rupanya abnormal prosedur. Dampaknya bukan hanya pada pribadi nan ditangkap, tapi juga pada gambaran daerah. Riau kembali distigma sebagai provinsi korup, padahal tak semua pejabatnya seperti itu.

Secara hukum, OTT memang diizinkan dalam konteks “tertangkap tangan”, ialah ketika pelaku sedang melakukan tindak pidana. Namun, jika penyelidikan dilakukan jauh hari sebelumnya dan KPK sebenarnya sudah tahu adanya transaksi, kenapa kudu menunggu saat tertentu untuk melakukan OTT?

Pertanyaan ini krusial lantaran menyangkut asas proporsionalitas. Dalam norma administrasi, tindakan penegak norma juga kudu tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan nan Baik (AUPB). Salah satu asas pentingnya adalah proporsionalitas artinya, tindakan kudu seimbang antara tujuan dan cara. Jika KPK bisa menempuh proses pemeriksaan tanpa drama tangkap tangan, kenapa memilih jalan paling sensasional?

Kita tidak sedang menolak OTT. Tapi publik berkuasa tahu: apakah ini penegakan norma nan benar, alias sekadar panggung politik nan dikemas rapi?

Hukum nan Berkeadilan, Bukan Sekadar Tegas

Hukum nan baik bukan hanya nan tegas, tapi juga setara dan transparan. KPK kudu kembali ke jalan nan berdasarkan nurani, bukan sekadar prestise.

OTT bukan tujuan, melainkan perangkat untuk membongkar sistem korupsi nan lebih besar. Jika perangkat itu digunakan secara berlebihan, maka norma kehilangan makna moralnya.

Bayangkan jika kelak terbukti bahwa bukti-bukti dalam OTT Gubernur Riau lemah. Apa jadinya? Kredibilitas KPK bisa makin terjun bebas. Dan publik bakal semakin skeptis terhadap setiap langkah pemberantasan korupsi.

Sebab, dalam akal masyarakat, “KPK hanya menangkap orang, bukan menegakkan kebenaran.”

KPK kudu segera menjelaskan duduk perkara kasus ini secara terbuka. Sebab, keadilan tak hanya untuk mereka nan ditangkap, tapi juga untuk masyarakat nan berkuasa tahu kebenaran. KPK boleh berkuasa, tapi kekuasaan itu tak berfaedah apa-apa tanpa nurani.

Kita semua mau korupsi diberantas, tapi bukan dengan mengorbankan asas keadilan. OTT Gubernur Riau semestinya jadi pelajaran penting: penegakan norma nan tak transparan justru melahirkan kecurigaan baru.

Hukum bukan sekadar perangkat untuk menghukum, melainkan sarana untuk menjaga martabat manusia dan negara. Maka jika KPK mau kembali dipercaya, mulailah dengan satu perihal sederhana: jujur pada prosesnya.

Sebab di mata rakyat, keadilan tidak hanya soal siapa nan ditangkap tapi siapa nan betul-betul ditegakkan.

Selengkapnya