ARTICLE AD BOX
Kesepian nan Tak Terlihat, Tapi Terasa
Perasaan sendiri dan sepi bisa terjadi di tengah keramaian. Di tengah riuhnya bumi nan terkoneksi 24 jam, ada jutaan orang nan merasa tak tersentuh. Mereka datang di ruang-ruang publik, tapi tak pernah betul-betul dilihat. Mereka tertawa di media sosial, tapi menangis dalam diam. Mereka adalah para jomblo, para penyintas relasi, para perantau, para lansia, para penyendiri nan tak memilih sendiri. Dan pada 11 November, dalam Hari Jomblo Sedunia, mereka tak hanya merayakan status, tapi juga menyimpan luka nan tak pernah diakui negara, ialah kesepian.
Kesepian bukan sekadar perasaan. Kesepian adalah epidemi sunyi nan merayap di kembali statistik pembangunan. Tak tercatat dalam RPJMN, tak dibahas dalam Musrenbang, dan tak masuk dalam parameter keahlian kementerian. Kesepian tidak diakui dalam konteks pembangunan. Padahal, kesepian membunuh perlahan. Mulai dari keterasingan sosial, depresi, sakit fisik, dan kematian. Bahkan bisa berujung pada bunuh diri. Pertanyaannya, sampai kapan negara bakal terus abai?
Kesendirian adalah Masalah Publik, Bukan Urusan Pribadi
Melalui tulisan ini, saya mau menegaskan bahwa kesepian, termasuk nan dialami para jomblo, bukan sekadar urusan pribadi. Namun, merupakan rumor kesehatan publik nan mendesak. Negara-negara maju seperti Jepang dan Inggris telah mengakui “loneliness epidemic” sebagai ancaman serius bagi kesejahteraan warganya. Indonesia, dengan populasi muda nan besar dan tekanan sosial nan tinggi, justru tetap menertawakan kesendirian sebagai lelucon.
Melalui Hari Jomblo Sedunia, kita punya momen reflektif untuk mendorong negara hadir. Bukan untuk mencarikan pasangan, tapi untuk menciptakan ekosistem sosial nan sehat, inklusif, dan empatik. Kesepian kudu diakui, diukur, dan ditangani; sebagaimana kita menangani stunting, kemiskinan, alias pandemi.
Kesepian Bukan Sekadar Perasaan
Kesepian sebagai Epidemi Global
Kesepian telah diakui sebagai ancaman kesehatan publik di beragam negara maju. Pada tahun 2018, Inggris menunjuk "Minister for Loneliness" alias Menteri untuk Kesepian pertama di dunia, menyusul laporan dari Jo Cox Commission on Loneliness nan menyebut bahwa lebih dari 9 juta penduduk Inggris merasa kesenyapan “sering” alias “selalu”. Jepang, nan menghadapi kejadian “hikikomori” dan meningkatnya nomor kematian akibat kesendirian, juga telah mengembangkan kebijakan intervensi sosial untuk mengatasi isolasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kesepian dapat meningkatkan akibat penyakit jantung, stroke, demensia, dan depresi. Sebuah studi dari Brigham Young University apalagi menyebut bahwa kesenyapan mempunyai akibat kesehatan nan setara dengan merokok 15 batang sehari. Ini bukan sekadar metafora, melainkan kebenaran medis nan menunjukkan bahwa kesenyapan adalah ancaman nyata. Dalam laporan terbaru, WHO menyatakan bahwa setiap jam, sekitar 100 orang meninggal akibat penyebab nan mengenai dengan kesepian, termasuk gangguan jantung dan kesehatan mental. WHO juga menekankan bahwa kesepian sangat berdampak pada remaja, lansia, dan masyarakat berpenghasilan rendah, nan condong mempunyai akses terbatas terhadap support sosial.
Budaya Romantis dan Tekanan Sosial di Indonesia
Di Indonesia, status jomblo seringkali menjadi bahan olok-olok. Acara televisi, meme, dan konten media sosial menjadikan kesendirian sebagai lelucon; bukan sebagai kondisi nan perlu dipahami. Budaya patriarki dan norma sosial menekan perseorangan untuk menikah di usia tertentu, seolah-olah relasi romantis adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.
Tekanan ini tidak hanya berkarakter psikologis, tapi juga struktural. Perempuan nan belum menikah di usia 30-an sering kali dianggap “tidak laku”, sementara laki-laki jomblo dianggap belum mapan. Dalam birokrasi dan organisasi publik, status pernikahan apalagi tetap menjadi pertimbangan dalam promosi alias penempatan kerja. Ini menunjukkan bahwa kesendirian bukan hanya soal pilihan pribadi, tapi juga soal akses dan keadilan sosial.
Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial dan aplikasi kencan nan memperkuat bias visual dan kelas. Mereka nan dianggap “tidak menarik” secara bentuk alias ekonomi condong tersingkir dari kesempatan relasi. Kesepian menjadi sistemik, bukan sekadar individual, namun sudah menjadi masalah publik. Dan negara, melalui izin dan kebijakan sosial, punya tanggung jawab untuk mengintervensi.
Negara (Harus) Hadir dalam Sunyi
Kebijakan Publik nan Mengakui Kesepian
Langkah pertama adalah mengakui kesenyapan sebagai rumor kesehatan publik nan sah. Pemerintah Indonesia perlu memasukkan parameter kesenyapan dalam survei kesehatan nasional, seperti Riskesdas alias Susenas. Dengan info nan terukur, intervensi bisa dirancang secara lebih tepat sasaran. Inggris, misalnya, telah mengembangkan strategi nasional untuk mengatasi kesenyapan sejak 2018, termasuk pendanaan organisasi lokal dan training petugas kesehatan.
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial bisa bekerja-sama untuk membentuk unit kerja lintas sektor nan konsentrasi pada isolasi sosial. Program seperti Posyandu Remaja, jasa konseling daring, dan kampanye anti-stigma bisa diperluas dengan pendekatan psikososial. Kesepian bukan hanya urusan psikolog, tapi juga urusan negara.
Selain itu, pemerintah wilayah dapat mengintegrasikan rumor kesenyapan dalam Musrenbang dan RPJMD. Ruang publik nan ramah interaksi, taman komunitas, dan aktivitas sosial berbasis kelurahan bisa menjadi strategi preventif. Kesepian kudu ditangani seperti kita menangani stunting dengan menggunakan data, empati, dan anggaran.
Membangun Ekosistem Sosial nan Inklusif
Solusi kedua adalah membangun ekosistem sosial nan inklusif dan tidak mendiskriminasi status relasi. Organisasi publik, kampus, dan tempat kerja kudu menghapus bias terhadap status pernikahan. Promosi jabatan, akses beasiswa, dan partisipasi sosial tidak boleh dikaitkan dengan apakah seseorang sudah menikah alias belum.
Media massa dan influencer juga punya peran penting. Narasi tentang jomblo kudu bergeser dari lelucon menjadi refleksi sosial. Kampanye seperti “Sendiri Tapi Peduli” alias “Jomblo Produktif” bisa menjadi aktivitas budaya nan mengubah langkah pandang masyarakat. Kita perlu lebih banyak tokoh publik nan berani bicara tentang kesenyapan tanpa malu.
Di sisi teknologi, platform digital bisa didorong untuk menciptakan ruang hubungan nan sehat dan tidak hanya berorientasi pada relasi romantis. Forum komunitas, ruang diskusi, dan algoritma nan mendorong hubungan berbasis minat bisa menjadi pengganti dari dating apps nan sering kali memperkuat bias visual dan kelas.
Yang tak kalah krusial adalah pendidikan. Kurikulum sekolah dan kampus perlu mengajarkan literasi emosional dan relasi sosial nan sehat. Anak muda kudu dibekali keahlian untuk membangun hubungan nan bermakna, bukan sekadar mencari pengakuan romantis. Kesepian bisa dicegah jika kita membangun generasi nan empatik dan inklusif.
Menyalakan Lilin di Tengah Sunyi
Hari Jomblo Sedunia bukan sekadar seremoni status, tapi bisa menjadi momentum advokasi. Kita bisa mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan nan lebih empatik, membangun ruang sosial nan inklusif, dan menghapus stigma terhadap kesendirian. Kita bisa membujuk organisasi publik, kampus, dan organisasi untuk menciptakan ruang hubungan nan sehat dan bermakna.
Dan kita, sebagai warga, bisa mulai dari perihal kecil, menyapa tetangga nan jarang keluar rumah, membujuk kawan lama untuk ngobrol, alias sekadar menulis pesan “apa kabar?” kepada seseorang nan mungkin sedang merasa sendiri. Karena kesenyapan tidak selalu butuh solusi besar. Kadang, dia hanya butuh satu lilin mini nan dinyalakan di tengah gelap.
Mari kita nyalakan lilin itu. Mari kita hadir, bukan hanya sebagai individu, tapi sebagai masyarakat nan peduli. Karena negara nan kuat bukan hanya nan membangun jalan dan gedung, tapi juga nan membangun hubungan antar jiwa.
6 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·