Ekonom Minta Pemerintah Revisi Aturan Soal Uang Pensiun-pesangon Kena Pajak

Sedang Trending 3 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Ilustrasi Buruh Pabrik. Foto: Algi Febri Sugita/Shutterstock

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sejumlah tenaga kerja bank swasta untuk menghapus pajak atas duit pensiun, pesangon, tabungan hari tua (THT), dan agunan hari tua (JHT). Meski begitu, pemerintah disebut tetap bisa melakukan revisi atas pasal bermasalah dalam patokan itu.

Sebelumnya, MK memutus permohonan pengetesan materiil Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam Perkara Nomor Nomor 186/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima.

Mahkamah menilai permohonan para Pemohon tidak jelas alias kabur. Namun, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menilai pemerintah tetap bisa melakukan revisi. Adapun revisi menurut Bhima bisa dilakukan dengan koordinasi antara kementerian mengenai dengan DPR.

“Seharusnya meski keputusan MK sudah ada tidak mengabulkan gugatan, Kemenkeu, Kemenaker dan DPR bisa lakukan koordinasi untuk revisi pasal nan bermasalah. Dalam revisi UU Ketenagakerjaan tetap ada jalan untuk memasukkan pasal penghilangan pajak untuk pensiun dan pesangon,” kata Bhima kepada kumparan, MInggu (16/11).

Lebih lanjut, Bhima menuturkan pemerintah bisa memaknai penghapusan pajak untuk pesangon dan pensiun sebagai suatu stimulus. Hal ini cocok dilakukan di tengah maraknya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Apalagi banyak perusahaan melakukan PHK dengan model pensiun dini. Artinya duit pensiun juga diartikan sebagai model pesangon,” ujarnya.

Terkait pajak duit pensiun hingga pesangon nan sudah ada selama ini, Bhima kecewa dan menilai logika pemberlakuan pajak tersebut tidak tepat. Pemajakan tersebut juga bisa berakibat pada konsumsi masyarakat.

“Pajak pesangon dan pensiun jadi beban nan mengurangi disposable income masyarakat. Uang nan digunakan untuk bayar pajak bisa dipakai shopping kebutuhan sehingga konsumsi bisa lebih tumbuh,” kata Bhima.

Sementara, ahli ekonomi dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet memandang penolakan MK atas gugatan mengenai pajak pensiun dan pesangon bisa dinilai dari dua sisi ialah perspektif pandang ekonomi dan perspektif pandang pekerja.

Dari perspektif pandang ekonomi, dia menuturkan negara selama ini memasukkan pensiun dan pesangon ke dalam kategori penghasilan lantaran sebagian unsur biaya tersebut memang belum pernah dipajaki, terutama kontribusi pemberi kerja alias hasil pengembangannya.

“Karena itu, saat biaya itu dicairkan, pemerintah berpegang pada prinsip bahwa ada tambahan keahlian ekonomi nan layak dikenai pajak. Dari sisi fiskal, logika ini masuk logika dan juga sejalan dengan praktik di banyak negara lain,” kata Yusuf.

Sementara dari sisi pekerja, pensiun dan pesangon bukanlah suatu penghasilan baru melainkan corak agunan hidup alias tabungan terakhir setelah puluhan tahun bekerja alias kompensasi ketika mereka kehilangan pekerjaan.

“Dalam kondisi ekonomi nan berat, inflasi tinggi, dan agunan sosial nan belum kuat, pemotongan pajak 20–30 persen terhadap biaya tersebut terasa seperti memotong nafas terakhir. Di sinilah muncul kritik bahwa kebijakan pajak kita terlalu berorientasi fiskal dan kurang mempertimbangkan dimensi sosial nan melekat pada dua jenis pembayaran ini,” ujarnya.

Sejumlah pekerja melangkah saat jam pulang kerja di salah satu pabrik di Kota Tangerang, Banten, Senin (10/2/2025). Foto: Putra M. Akbar/ANTARA FOTO

Maka, dia menyarankan agar pemerintah melakukan redefinisi ulang terhadap pensiun dan pesangon. Menurutnya, arti nan ideal mestinya tidak semata-mata fiskal.

“Keduanya perlu dipandang sebagai kombinasi antara penghasilan dan agunan sosial. Bagian dasarnya bisa diberi perlindungan penuh alias tarif pajak sangat ringan, sedangkan bagian nan besar alias berkarakter tambahan baru bisa diperlakukan sebagai penghasilan biasa,” kata Yusuf.

Dengan pendekatan semacam ini, arti pensiun maupun pesangon bakal lebih sesuai dengan prinsip keadilan, terutama bagi pekerja berpenghasilan rendah alias menengah.

“Maka, apakah kebijakan pajak nan ada sekarang sudah benar? Secara hukum—ya, lantaran konsisten dengan undang-undang nan bertindak dan telah diuji acapkali di MK. Tetapi secara substansi, tetap ada ruang besar untuk perbaikan,” ujarnya.

Ia juga menyarankan beberapa perihal agar nantinya kebijakan ini bakal jauh lebih adil. Sarannya adalah pemerintah perlu meningkatkan pemisah bebas pajak unik untuk pensiun dan pesangon, menurunkan tarif bagi pembayaran sekaligus, alias memberikan angsuran pajak untuk iuran nan selama ini berasal dari penghasilan pekerja.

“Pada akhirnya, pemajakan pensiun dan pesangon mencerminkan prioritas fiskal negara, tetapi belum sepenuhnya mencerminkan perlindungan sosial nan semestinya diberikan kepada mereka nan memasuki masa tua alias baru saja kehilangan pekerjaan,” kata Yusuf.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa juga sudah menyatakan bahwa dia bakal mempelajari penerapan pajak pensiun dan pesangon tersebut.

Selengkapnya